Psikologi Pendidikan - Dalam dunia pendidikan anak usia dini, peran guru tidak hanya sebatas penyampai materi. Lebih dari itu, guru menjadi sosok yang membentuk kepribadian, emosi, dan cara anak memandang proses belajar. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan guru akan sangat mempengaruhi suasana belajar di kelas. Salah satu pendekatan yang menurut saya sangat efektif adalah pendekatan teman — sebuah cara sederhana namun bermakna dalam membangun hubungan dengan anak.
Sebagai guru anak usia dini sekaligus mahasiswa Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Muhammadiyah Kuningan, saya selalu berusaha mencari cara agar anak-anak merasa nyaman dan semangat belajar di kelas. Terkadang, cara sederhana justru dapat memberikan dampak besar dalam dunia anak usia dini.
Dari pengalaman saya mengajar di TK PGRI Al Farizky, saya menemukan bahwa anak-anak akan jauh lebih terbuka jika saya hadir bukan hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai teman. Saya menyebutnya pendekatan teman — sebuah cara mengajar yang menempatkan guru sebagai sahabat bagi anak-anak. Dalam keseharian di kelas, saya tidak hanya berdiri di depan memberi instruksi, tetapi ikut duduk bersama mereka, bermain, dan mendengarkan cerita kecil yang mereka bagikan dengan antusias.
Saya ingin anak-anak merasa bahwa guru adalah teman yang bisa dipercaya, bukan sosok yang menakutkan.
Pendekatan sederhana ini ternyata memberi dampak besar. Anak-anak lebih berani berbicara, lebih percaya diri, dan lebih mudah diarahkan. Mereka juga menunjukkan rasa empati dan kehangatan satu sama lain.
Dalam teori psikologi pendidikan humanistik, hubungan yang hangat antara guru dan peserta didik merupakan dasar penting bagi perkembangan anak. Anak yang merasa aman dan diterima akan lebih siap belajar, berani bereksplorasi, dan mampu mengekspresikan diri tanpa rasa takut.
Dosen saya di mata kuliah Psikologi Pendidikan, Dr. Erik, M.Pd., pernah menjelaskan bahwa guru PAUD memiliki peran ganda — sebagai pendidik sekaligus figur orang tua. Ketika guru mampu membangun kedekatan emosional dengan anak, proses belajar menjadi lebih bermakna dan menyenangkan.
Saya merasakan hal itu sendiri. Saat anak-anak mulai bercerita tentang keluarganya, menggambar sambil tertawa, atau memeluk saya setelah belajar, saya tahu bahwa hubungan kami telah melampaui batas formalitas kelas. Saya belajar bahwa anak-anak tidak hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi juga kehangatan. Melalui kehangatan inilah, saya menyadari bahwa proses belajar sesungguhnya dimulai dari rasa percaya.
Bagi saya, pendekatan teman bukan sekadar metode mengajar. Ini adalah cara menciptakan ruang penuh kasih, di mana setiap anak merasa diterima dan berani menjadi dirinya sendiri.
Kedekatan emosional seperti ini membuat kelas terasa hidup. Anak-anak bukan hanya belajar membaca, berhitung, atau mengenal warna, tetapi juga belajar tentang empati, percaya diri, dan rasa saling menghargai.
Melalui pengalaman ini, saya semakin memahami bahwa pendidikan anak usia dini bukan sekadar tentang pencapaian akademik. Lebih dari itu, ia adalah proses membangun karakter dan kelekatan. Guru yang mampu menjadi “teman belajar” bagi anak sebenarnya sedang membangun fondasi psikologis yang kuat — rasa aman, percaya diri, dan cinta belajar.
Pendekatan humanistik mengingatkan kita bahwa mengajar berarti menemani tumbuh. Dan dalam setiap senyum anak, di sanalah guru menemukan makna sejati dari mendidik.
Oleh: Dhena Sukmawati – Mahasiswa Semester 3 - Program Studi Pendidikan Guru Anak Usia Dini, Universitas Muhammadiyah Kuningan

